PERIBAHASA.NET –Peribahasa sering kali menjadi cerminan mendalam dari nilai-nilai dan kearifan lokal suatu budaya. Begitu pula dengan peribahasa yang kaya makna dari bahasa Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yaitu “Muku Ca Puu Neka Woleng Curup, Teu Ca Ambo Neka Woleng Jangkong.” Secara harfiah, peribahasa ini menyiratkan pesan yang dalam: “pisang setandan dilarang ribut, tebu serimbun dilarang bertengkar.” Namun, di balik kata-kata sederhana tersebut, tersimpan filosofi yang mengajarkan kebijaksanaan dalam hubungan antarsesama.
Peribahasa ini tidak hanya menyoroti pentingnya menjaga kedamaian dan keselarasan di antara sesama, tetapi juga menekankan bahwa konflik dan pertengkaran hanya akan merugikan diri sendiri, bukan orang lain. Mari kita telaah lebih dalam makna dan pesan yang terkandung dalam peribahasa ini.
A. Makna Peribahasa
1. Muku Ca Puu Neka Woleng Curup (Pisang Setandan Dilarang Ribut)
Pisang, dalam konteks ini, melambangkan hubungan antara individu atau kelompok yang berdekatan, seperti keluarga, masyarakat, atau komunitas. “Setandan” menunjukkan kesatuan dan keterkaitan di antara mereka. Larangan untuk ribut menggambarkan pentingnya menjaga kedamaian dan harmoni dalam interaksi sosial. Ribut di sini bukan hanya merujuk pada pertengkaran fisik, tetapi juga konflik verbal atau sikap yang merugikan kedamaian bersama.
Dalam budaya Manggarai, menjaga kerukunan dalam kelompok dianggap sebagai nilai yang sangat penting. Konflik yang terjadi di dalamnya tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga dapat mengganggu kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, peribahasa ini mengajarkan pentingnya menyelesaikan konflik secara damai dan menghormati kesatuan dan kebersamaan.
2. Teu Ca Ambo Neka Woleng Jangkong (Tebu Serimbun Dilarang Bertengkar)
Tebu yang serimbun menggambarkan banyaknya individu atau kelompok yang berada dalam satu lingkungan atau komunitas yang sama. Larangan untuk bertengkar menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan dan keanekaragaman di antara mereka, keharmonisan dan kerja sama tetap harus dijaga.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada perbedaan pendapat, kepentingan, atau pandangan. Namun, bertengkar atau saling serang bukanlah solusi yang bijaksana. Sebaliknya, peribahasa ini mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan, memperkuat kerjasama, dan mencari solusi yang adil dan damai dalam menyelesaikan konflik.
B. Menggali Hikmah dari Peribahasa Manggarai
Peribahasa Manggarai “Muku Ca Puu Neka Woleng Curup, Teu Ca Ambo Neka Woleng Jangkong” tidak hanya sekadar rangkaian kata-kata bijak, tetapi juga merupakan sumber hikmah yang dapat membimbing kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam setiap ajaran yang terkandung di dalamnya, terdapat pelajaran berharga yang dapat dijadikan panduan dalam berinteraksi dengan sesama dan menjaga kedamaian dalam masyarakat. Mari kita telaah lebih dalam mengenai hikmah yang dapat kita ambil dari peribahasa ini:
1. Menghargai Keharmonisan
Peribahasa ini mengajarkan kita untuk menghargai keharmonisan dalam hubungan antarindividu dan kelompok. Kedamaian dan kerukunan merupakan aspek penting dalam menciptakan lingkungan sosial yang sehat dan stabil. Dengan menjaga keharmonisan, kita membangun fondasi yang kuat untuk memajukan masyarakat menuju kesejahteraan bersama.
2. Mencegah Pertentangan yang Merugikan
Larangan untuk bertengkar atau ribut mengingatkan kita akan bahaya dari konflik yang tidak produktif. Pertengkaran hanya akan menghasilkan kekacauan dan kerugian bagi semua pihak yang terlibat. Dengan menghindari pertentangan, kita membuka jalan menuju penyelesaian yang lebih baik dan damai dalam menyelesaikan perbedaan.
3. Memupuk Kerja Sama dan Solidaritas
Peribahasa ini juga menekankan pentingnya kerja sama dan solidaritas dalam mencapai tujuan bersama. Seperti tebu yang serimbun, kekuatan masyarakat terletak pada kesatuan dan kerjasama di antara anggotanya. Dengan saling mendukung dan bekerja sama, kita dapat mengatasi tantangan dengan lebih efektif dan meraih kesuksesan bersama.
4. Menghormati Keanekaragaman
Meskipun terdapat perbedaan di antara individu atau kelompok, peribahasa ini mengajarkan kita untuk menghormati keanekaragaman dan memperlakukan satu sama lain dengan penuh penghargaan. Keanekaragaman merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dirayakan, bukan menjadi sumber konflik atau perpecahan.
5. Menjadi Pelopor Kedamaian
Sebagai individu yang memiliki kesadaran akan nilai-nilai peribahasa ini, kita memiliki tanggung jawab untuk menjadi pelopor kedamaian dalam lingkungan sekitar kita. Dengan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, kita dapat memberikan contoh yang baik bagi orang lain dan berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih damai dan harmonis.
C. Penutup
Dengan demikian, peribahasa Manggarai “Muku Ca Puu Neka Woleng Curup, Teu Ca Ambo Neka Woleng Jangkong” merupakan panduan yang berharga dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Melalui pemahaman dan praktik ajaran yang terkandung di dalamnya, kita dapat menjadi agen perubahan yang membawa kedamaian, kerukunan, dan kebahagiaan bagi diri sendiri serta masyarakat sekitar.