Dima Bumi Dipijak, Di Sinan Langik Dijunjuang: Makna, Filosofi & Relevansinya

PERIBAHASA.NET –Kekayaan budaya suatu daerah sering kali tercermin dalam peribahasa-peribahasa yang telah turun temurun dari generasi ke generasi. Begitu pula halnya dengan peribahasa yang kaya makna dari Minangkabau, salah satunya adalah “Dima Bumi Dipijak, Di Sinan Langik Dijunjuang”. Peribahasa ini bukan hanya sekadar rangkaian kata, melainkan mengandung filosofi mendalam yang tercermin dari kehidupan masyarakat Minangkabau.

dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang

A. Makna Dima Bumi Dipijak, Di Sinan Langik Dijunjuang

Terdapat tiga kata kunci yang saling terhubung erat dengan peribahasa di atas, yakni manusia, alam, dan lokalitas (tradisi dan budaya).

  • Secara harfiah, peribahasa ini menggambarkan sikap rendah hati dan penghormatan terhadap lingkungan serta alam sekitar. “Dima Bumi Dipijak” mengajarkan bahwa meskipun kita berada di atas bumi, kita harus tetap rendah hati dan menghargai asal muasal kita, yaitu bumi tempat kita berpijak. Sedangkan “Di Sinan Langik Dijunjuang” mengingatkan bahwa kita harus senantiasa menghargai dan menjaga warisan leluhur, serta melihat ke langit sebagai tujuan yang tinggi untuk dijunjung.
  • Peribahasa Dima Bumi Dipijak, Di Sinan Langik Dijunjuang juga dapat diartikan sebagai: “di mana bumi diinjak, di sanalah langit dijunjung”. Maknanya, dimanapun kita berada, selayaknya kita tetap ingat akan akar budaya dan tradisi kita. Dan dengan terus “berpijak” pada akar tradisi, budaya, dan lokalitas, kita tak akan kehilangan kedirian atau jati diri.

Jati diri menjadi penting, lebih-lebih di saat di mana kita lebih menyukai budaya dan tradisi impor yang sama sekali tidak mencerminkan identitas kita yang sejati. Peribahasa ini menjadi pengingat bahwa jangan sampai arus kehidupan membawa kita jauh dari nilai-nilai budaya yang tumbuh dan bersemai di dalam rahim kenusantaraan kita.

 

B. Filosofi

Peribahasa ini mencerminkan filosofi hidup masyarakat Minangkabau yang memiliki kearifan dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan tradisi/budaya lokal. Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai penganut adat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong, dan memegang teguh nilai-nilai atau warisan yang berasal dari para leluhurnya. Mereka memahami bahwa keberadaan manusia tidak terpisahkan dari alam dan budayanya, sehingga menjaga keseimbangan selalu terjaga.

Melalui peribahasa ini pula, terdapat pengingat yang jelas bahwa akar tradisi dan budaya adalah akar kesejatian suatu bangsa. Tanpa keduanya, suatu bangsa mudah rapuh dan koyak akibat hantaman budaya luar yang terus berdatangan tanpa kendali. Filosofi ini, dengan demikian, adalah lilin yang dapat kita jadikan penerang di saat lampu-lampu modenitas telah menyilaukan dan lalu menyesatkan kita.

 

C. Relevansi dengan Kehidupan

Meskipun peribahasa ini memiliki akar budaya yang dalam, pesan yang terkandung di dalamnya tetap relevan dengan kehidupan modern. Di era globalisasi ini, di mana banyak nilai tradisional tergerus oleh arus modernisasi, peribahasa ini mengingatkan kita akan pentingnya tetap menghargai asal muasal dan akar budaya kita. Penghormatan terhadap alam juga menjadi semakin penting dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan pelestarian lingkungan.

 

D. Penutup

Peribahasa “Dima Bumi Dipijak, Di Sinan Langik Dijunjuang” tidak hanya menjadi sekadar pepatah, melainkan sebuah pandangan hidup yang mengajarkan tentang rendah hati, menghargai akar budaya, dan menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Melalui pemahaman yang mendalam terhadap peribahasa ini, kita dapat memperkaya diri dengan kekayaan dan kearifan lokal yang telah ada sejak zaman nenek moyang.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *